Ini Sanksinya Kalau Mengonsumsi Ganja
Daftar Isi
Isu mengenai pemakaian ganja bisa dibilang selalu menarik untuk dibahas. Bahkan ada beberapa masyarakat yang pernah melakukan upaya untuk melegalisasi ganja di Indonesia.
Tapi, berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, ganja masih termasuk sebagai barang yang ilegal. Konsekuensinya, warga Indonesia yang ketauan menggunakan ganja, bisa dijerat sanksi dan tindakan. Sanksi dan tindakan ini juga tentunya berlaku bagi semua warga Indonesia, baik yang sudah dewasa, maupun pelajar.
Nah, kebetulan hukumonline.com pernah ngebahas soal pelajar yang memakai ganja. Cekidot gan.
Tapi, berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, ganja masih termasuk sebagai barang yang ilegal. Konsekuensinya, warga Indonesia yang ketauan menggunakan ganja, bisa dijerat sanksi dan tindakan. Sanksi dan tindakan ini juga tentunya berlaku bagi semua warga Indonesia, baik yang sudah dewasa, maupun pelajar.
Nah, kebetulan hukumonline.com pernah ngebahas soal pelajar yang memakai ganja. Cekidot gan.
Ganja merupakan salah satu jenis narkotika golongan I sebagaimana disebutkan dalam Daftar Narkotika Golongan I angka 8 Lampiran I Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”):
“Tanaman ganja, semua tanaman genus-genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.”
UU Narkotika sendiri tidak mencantumkan istilah “mengkonsumsi”. Beberapa pasal yang dapat kita temui dalam UU Narkotika ini mencantumkan istilah seperti: menggunakan, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.
Namun, bisa diartikan, "mengonsumsi" adalah memiliki dan menggunakan ganja untuk kepentingan pribadi, serta kepemilikan dan penggunaan ganja tersebut tidak termasuk sebagai yang diperbolehkan oleh UU Narkotika. Tak hanya itu, biasanya, "mengonsumsi" ganja diartikan bahwa ganja sudah dalam bentuk puntung/linting ganja siap pakai.
Atas perbuatan memiliki ganja, orang tersebut dapat dipidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 112 UU Narkotika, yang berbunyi:
(1) “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”
Jika mengacu pada artikel Radian Adi, S.H. yang berjudul Pemilik Puntung Ganja = Pengedar Ganja? yang menjelaskan unsur-unsur dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, maka bila diterapkan dalam kasus yang Anda ceritakan, unsur-unsurnya adalah:
a. Setiap orang
Pelaku adalah subjek hukum perseorangan (natuurlijk person) pemegang hak dan kewajiban; dan tidak termasuk orang yang dikecualikan sebagai orang yang tidak mampu bertanggung jawab berdasarkan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Tanpa hak atau melawan hukum
Pelaku bukan memiliki atau menguasai narkotika berupa ganja tersebut sebagai peneliti, dokter, apotek, pedagang farmasi atau rumah sakit. Oleh karena itu pelaku dianggap memiliki narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
c. Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
Orang memiliki puntung/linting ganja siap pakai.
d. Narkotika Golongan I bukan tanaman
Ganja yang dikuasai oleh orang tersebut sudah dalam bentuk puntung/linting rokok siap hisap yang merupakan narkotika golongan I bukan tanaman.
Berdasarkan unsur-unsur dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika tersebut, orang yang memiliki ganja dapat diancam pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) jika memang ia terbukti secara sah memiliki narkotika golongan I ini. Pasal ini tidak memandang apakah berat dari ganja yang ia miliki itu kurang dari 1 (satu) gram atau lebih.
Namun, dalam hal orang tersebut memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I yang beratnya melebihi 5 (lima) gram, maka berdasarkan Pasal 112 ayat (2) UU Narkotika, ancaman pidananya lebih berat, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Kemudian, atas penggunaan narkotika jenis ganja ini, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU Narkotika, ia dapat disebut sebagai penyalah guna, yakni orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Sebagai orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum, orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.yang mengatakan bahwa setiap penyalah guna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Lebih lanjut, dalam Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika dikatakan bahwa jika penyalah guna tersebut dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Jika pelakunya adalah pelajar, bisa diasumsikan bahwa pelajar adalah anak yang termasuk ke dalam batasan usia anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yaitu anak yang telah berusia 8 (delapan tahun) tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin:
Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Anak:
"Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”
Sebagai informasi, mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana menjadi 12 (dua belas) tahun.
Jika pengguna narkotika tersebut adalah pelajar yang termasuk sebagai anak nakal, maka hukuman pidana yang dapat dikenakan dapat berbeda dari orang dewasa. Anak nakal sendiri dibedakan menjadi 2 (dua), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Pengadilan Anak, yaitu:
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pembedaan jenis anak nakal ini akan berdampak pada pembedaan jenis hukuman yang dapat dikenakan kepada anak tersebut (lihat Pasal 25 UU Pengadilan Anak).
Pelajar yang mengkonsumsi (memiliki dan menggunakan) narkotika termasuk ke dalam anak yang melakukan tindak pidana. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UU Pengadilan Anak, Hakim dapat menjatuhkan pidana (Pasal 23 UU Pengadilan Anak) atau tindakan (Pasal 24 UU Pengadilan Anak).
Pidana ada 2 (dua) yaitu pidana pokok dan pidana tambahan (Pasal 23 ayat (1) UU Pengadilan Anak). Jenis-jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah (lihat Pasal 23 ayat (2) UU Pengadilan Anak):
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Selain pidana pokok di atas, terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi (Pasal 23 ayat (3) UU Pengadilan Anak).
Sedangkan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak, ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Tindakan di atas, dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim (Pasal 24 ayat (2) UU Pengadilan Anak).
Oleh karena itu, mengenai hukuman yang dapat diberikan kepada pelajar tersebut, bergantung dari penilaian Hakim.