Demokrasi Indonesia di Ambang Kehancuran: Refleksi dari Pengamatan Saya
Saya melihat dengan jelas bahwa demokrasi di Indonesia sedang berada di ambang kehancuran. Hal ini bisa dilihat dari kualitas kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh DPR. DPR, yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, semakin jauh dari harapan tersebut. Faktanya, meskipun mereka dipilih oleh rakyat, banyak kebijakan yang diambil tidak mencerminkan kepentingan rakyat, melainkan lebih kepada kepentingan elite dan oligarki. Ini adalah bukti nyata bahwa demokrasi Indonesia tidak berkualitas. Jika hal ini dibiarkan terus berlanjut, tidak diragukan lagi bahwa kita sedang menuju kehancuran, karena DPR, yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan presiden, justru berubah menjadi sekadar pembantu presiden.
Kondisi semakin parah ketika oposisi, yang seharusnya menjadi kontrol atas kebijakan pemerintah, semakin melemah. Tanpa oposisi yang kuat, demokrasi kehilangan esensi terpentingnya, yaitu adanya pengawasan dan kritik terhadap setiap kebijakan yang diambil. Jika tidak ada pihak yang mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah, maka keputusan yang diambil bisa cenderung tidak berpihak kepada rakyat, bahkan bisa menindas tanpa ada penyeimbang.
Salah satu hal yang semakin memperburuk situasi ini adalah praktek-praktek politik uang yang sekarang dibungkus dalam bentuk bantuan sosial atau bantuan lainnya. Di daerah-daerah, termasuk di tempat tinggal saya, pembagian uang dalam bentuk sembako atau bantuan lainnya dilakukan terang-terangan. Ini jelas adalah politik uang yang dikemas dengan rapi sehingga tidak terlihat sebagai money politics. Tapi kita semua tahu, ini adalah cara untuk mempengaruhi pilihan rakyat dengan memberikan iming-iming barang.
Lebih parahnya lagi, bantuan sosial yang seharusnya tepat sasaran, sering kali disalurkan dengan tujuan politis. Bantuan-bantuan ini tidak jarang dijadikan alat untuk memperoleh suara dalam pemilihan presiden, DPR, atau bupati. Politikus saat ini tidak perlu mengeluarkan modal besar untuk berkampanye, mereka cukup menggunakan uang negara yang disamarkan sebagai bantuan sosial untuk mendapatkan suara. BPJS, beasiswa, dan berbagai program bantuan lainnya pun sering kali dimanfaatkan untuk menjaga suara atau mendulang dukungan politik.
Dari sini, terlihat jelas bahwa demokrasi di Indonesia sudah menyimpang jauh. Wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan suara dan kepentingan rakyat, malah justru menjadi wakil dari oligarki. Mereka yang memodali kampanye para politikus adalah para oligarki yang kemudian mengendalikan setiap kebijakan yang diambil.
Namun, kesalahan ini tidak hanya ada pada pihak elite dan politikus. Sebagai rakyat, kita juga turut andil dalam kondisi ini. Kita memilih mereka, kita memberikan mandat kepada mereka, dan kita juga yang harus menanggung akibatnya ketika mereka lebih memilih berpihak pada oligarki daripada rakyat. Ini membuat Indonesia semakin dekat dengan kehancuran. Oligarki yang mengendalikan politik bisa memonopoli dan menguasai seluruh sektor bangsa ini.
Ironisnya, pemerintah sering kali memutar fakta sehingga kebijakan yang seharusnya salah bisa terlihat baik di mata masyarakat. Pemilihnya dihipnotis dengan pencitraan indah dan benar, meskipun sebenarnya kebijakan itu membawa dampak negatif bagi masa depan bangsa. Yang lebih menyedihkan, setiap pandangan yang berlawanan terhadap kebijakan tersebut selalu diserang oleh buzzer atau pendukung loyal yang menutup mata pada segala kekurangan dan hanya memuja kebaikan yang terlihat di permukaan.
Pada akhirnya, demokrasi kita semakin hari semakin kehilangan makna. Demokrasi yang sehat harusnya menjadi alat untuk menyejahterakan rakyat, bukan alat bagi segelintir elite untuk memperkaya diri. Jika kita tidak segera menyadari dan memperbaiki hal ini, maka kehancuran demokrasi dan bangsa ini hanya tinggal menunggu waktu.